Sejarah perkeretaapian di Indonesia diawali dengan pencangkulan pertama pembangunan jalan kereta api di Semarang, Jumat tanggal 17 Juni 1864, oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, LAJ Baron Sloet van den Beele. Pembangunan diprakarsai oleh “Naamlooze Venootschap Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij” (NV NISM) yang dipimpin oleh JP de Bordes dari Samarang menuju desa Tanggung (26 kilometer) dengan lebar sepur 1435 milimeter. Ruas jalan ini dibuka untuk angkutan umum hari Sabtu, 10 Agustus 1867.
Perkeretaapian di Indonesia adalah negara kedua di Asia (setelah India) yang mempunyai jaringan kereta api tertua. Cina dan Jepang baru menyusul kemudian. Setelah Tanam Paksa (1830-1850), hasil pertanian di Jawa tidak lagi sekadar untuk memenuhi kebutuhan sendiri tapi juga untuk pasar internasional. Karena itu diperlukan sarana transportasi untuk mengangkut hasil pertanian dari pedalaman ke kota-kota pelabuhan. Yang ada waktu itu hanya Jalan Raya Pos yang dirasa sudah tidak memadai lagi, sehingga muncul gagasan untuk membangun jalan kereta api. Namun, tidak semua orang setuju dengan rencana itu. Ada sebagian pihak yang berpendapat volume produk masih terlalu sedikit, sehingga tidak efisien apabila diangkut dengan kereta api, sementara jumlah penumpang, kalaupun ada, diperkirakan akan sangat sedikit. Di masa itu orang Jawa dianggap sebagai bangsa yang tidak suka bepergian jauh, sedangkan orang Eropa yang diharapkan paling-paling hanyalah para pegawai negeri.